[] Bilik Menulisku: FIksi Rara & Jaka; Tentang Kewelasasihan

Minggu, 02 Agustus 2020

FIksi Rara & Jaka; Tentang Kewelasasihan


Pada jelang sore itu, Jaka dan Rara masih menyelesaikan tugas work from home-nya masing-masing. Sudah berjam-jam, dan penat akhirnya melanda. Tanpa banyak bicara, hanya dalam sekali pertukaran pandang, keduanya langsung saling setuju untuk rehat. Rara lalu beranjak ke dapur, mencari sesuatu untuk menemani teh sore mereka, sedang Jaka meluruskan kakinya sejenak sebelum melangkahkannya ke teras depan.

“Masih sibuk?” Rara melewati suaminya yang bergeming menatap layar gawai. Diletakannya nampan berisi sepiring getuk lindri –kue tradisional berbahan singkong yang ditemukannya di tukang kue langganan yang biasa lewat- dan seteko teh hangat beserta dua cangkirnya. 

“Ini…” yang ditanya menjawab. “Biasa, ada yang cerita…” Setelah itu, diletakkannya telepon pintarnya di meja lalu menyantap hidangannya dengan suka cita. 

“Curhat ya?” Rara bertanya. Retoris saja; ia sudah tahu jawabannya.

Jaka hanya menanggapi dengan tersenyum. Sudah seringkali sang istri melihatnya berbalas pesan dengan banyak orang –kebanyakan perempuan- yang hampir seluruhnya menceritakan permasalahan pribadinya dan meminta nasihat. Sudah beberapa kali juga ia menjelaskan, bahkan mendiskusikannya jika merasa perlu berbagi pendapat. Semestinya Rara paham akan “tugas mengayomi” tersebut tanpa distorsi emosi.

Melihat sang suami tetap asyik mengunyah camilannya, Rara angkat bicara.

“Sudah menjadi hukum alamnya demikian,” katanya, lalu menyisip tehnya dengan nikmat. Setelah satu tegukan, tanpa ingin menjelaskan lebih lanjut, ia memperhatikan jari telunjuknya menjelujuri bibir cangkirnya.

“Hukum alam?” Jaka ganti bertanya. 

“Huum,” Rara tersenyum, memandang suaminya sepenuh sayang. “Kanda kan memiliki stok welas asih banyak, jadi wajar kalau itu menarik mereka yang sedang membutuhkan kasih…” 

Terkejut, Jaka membuka mulutnya –yang kemudian dijejalinya dengan suapan terakhir getuk lindri. 

“Kalau mereka curhatnya ke aku,” lanjut Rara tanpa diminta, “Nanti aku yang kesedot energinya karena stok kasihnya belum banyak…” Disudahinya kalimat itu dengan menyeringai.

Jaka tertawa mendengarnya, tanpa mengiyakan tanpa menyangkal. Dibiarkannya istrinya membuat kesimpulan atas pemahamannya sendiri. 

“Betul begitu, kan?” Rara menyisip lagi teh hangatnya yang manis. 

Namun lagi-lagi Jaka tidak menjawab, alih-alih, diambilnya lagi penganan kesukaannya sebuah. Biar bagaimanapun, ia lebih suka mematuhi “hukum” yang ia yakini: perempuan selalu benar. Akan panjang jadinya, jika ia salah menanggapi pernyataan Rara yang bisa jadi menjebak.

“Maksudnya…” Rara menaruh cangkirnya kembali ke meja. “Benar bahwa ada tugas-tugas alam tertentu atas orang-orang tertentu. Ada kelebihan-kelebihan tertentu yang bisa mendukung mereka menjalankan perannya…” 

Kali ini, omongan Rara menarik perhatian Jaka, jadi mau tidak mau ia bertanya, “Gimana gimana?”

“Yang bisa berbagi kasih murni adalah yang memiliki kewelasasihan tinggi…” 

Karena tidak ada tanggapan dari suaminya, Rara meneruskan, “Yaitu mereka yang memang merepresentasi sifat-Nya dengan benar, yang mengejawantahkan kualitas-kualitas ilahiah sehingga membuat mereka nyaris tak tersentuh dualitasnya dunia.”

“Lalu..?” Jaka bertanya lagi dengan hati-hati. 

“Ya lalu mereka jadi bisa menjalankan perannya, yaitu berbagi kasih, menebar welas asih.”

“Oh…” Jaka mengambil cangkir tehnya dan meneguk isinya.

“Dan itu tidak bisa dihalang-halangi. Pancarannya meluas, menjangkau sesiapapun yang sekiranya membutuhkan, kemudian menariknya mendekat.”

Jaka menyeringai saja mendengarnya. Teh hangatnya lalu disisip lagi perlahan.

“Ibarat lampu yang naturally menarik laron-laron, dan sebaliknya laron-laron pun tertarik ke sana secara alamiah,” Rara menaruh cangkirnya di meja. “Tidak ada yang aneh, tidak ada yang bisa direkayasa dari hal tarik-menarik itu, sebagaimana Kanda –dengan segala kelebihannya, baik sebagai hasil lakunya sendiri maupun yang dianugerahkan- dan semua orang yang merasa nyaman untuk saling dekat.”

Sambil tersenyum, Jaka membelai rambut Rara sebagai tanggapan.

“Siapalah aku, untuk menghalangi terangnya Kanda…” Rara balas tersenyum. “Jadi, silakan tunaikan tugas-tugasnya, jalani perannya. Aku di sini, menemani, mengagumi, sekaligus ikut belajar…” 

“Menemaninya di hotel mana?” suara Jaka memberat. 

Rara terkikik geli karenanya. “Nah, itu dia…” ia menanggapi dengan sebuah kedipan. “Masalah sang penarik itu kemudian jadi tertarik balik kan jadinya masuk ke ranah jatah-jatahan…” 

 “Jatah-jatahan gimana?” Jaka bingung.

“Ya jatah aku doong…” Rara terkikik lagi. “Ada jatahnya, mungkin karena masih ada karma, untuk bisa menarik juga Kandanya…” sambil begitu, ia pun menggulirkan jemarinya ke dada sang suami, menggoda.

Jaka menyeringai lagi, berpasrah diri. Ia suka jika Rara  menggodanya begitu. Tak lama, diraihnya Rara ke dalam pelukan untuk merasakan kasihnya, ketulusannya. “Terima kasih, yaa…” bisiknya sepenuh sayang. “Ke kamar yuuk…” sambungnya yang kemudian membuat tangannya ditarik Rara masuk ke dalam.


********  
*Special thanks to Mas Martin DP, atas obrolan sorenya yang mencerahkan. Hatur nuhun juga kepada semua "aktor" yang melewati timeline-ku, atas segala kasih dan pelajarannya.

Baca lagi kisah Jaka & Rara yang lainnya di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar