[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka: Tentang Siwa dan Shakti -2

Minggu, 17 Mei 2020

Fiksi Rara & Jaka: Tentang Siwa dan Shakti -2


Malam ini, Jaka dan Rara masih tertahan di beranda depan. Berbincang mengenai Siwa dan Shakti, tentang bagaimana laki-laki terhadap perempuan. Sungguh sebuah isu feminisme yang bisa membangkitkan selera Rara untuk berdebat. Namun seperti biasa, Jaka mampu membuat istrinya mengerti dengan caranya yang menenangkan, berikut dengan godaannya yang menghanyutkan...

"Ya kamu juga sih..." balas Jaka masih tertawa. Digulirkannya pandangan dari atas ke bawah, menyapu seluruh tubuh Rara.

Dipandang seperti itu, mau tidak mau Rara tersipu. Wajahnya memanas, walau ditutupinya dengan pertanyaan galak, "Aku kenapa?"

Jaka makin tergelak karenanya. Rara dan daya pikat seksualnya yang memancar kuat, yang tidak kuasa untuk ditolaknya.

"Anyway..." Jaka memutuskan untuk meneruskan pembicaraan, menyadari pikiran nakal yang mulai merasuki kepalanya. "Dalam setiap pembicaraan kita dulu, bahkan sekarang, itu sudah merupakan hubungan intim, Ra..."

Yang diajak ngobrol segera dilanda kebingungan. "Maksudnya?" 

"Ya..." yang ditanya menjawab lambat. "Merasa betah berada di sekitar seseorang, nyaman dengan energinya, itu sudah merupakan keintiman."

Rara masih bingung. 

"Berhubungan intim bukan hanya pertemuan antara lingga dan yoni..." Jaka berkata pelan-pelan lagi. "Berbincang berdua, berbagi, saling mendengarkan, saling mengerti, itu sudah merupakan keintiman. Disadari atau tidak, ada gairah yang meletup di dalamnya, yang membangkitkan energi seks yang konon adalah energi terkuat di alam raya. Bahkan akan terjadi semacam orgasme tertentu jika pembicaraannya saling meningkatkan kesadaran..."

"Oh..." Rara memekik tertahan. Ia tau benar rasanya itu...

"Apalagi jika berlanjut ke ranjang..." Jaka meneruskan tanpa terdengar mesum. "Akan terjadi bigbang yang luar biasa di antara keduanya..."

Rara mengangguk-angguk mengerti.

"Maka dikatakan, berhubungan seksual adalah meditasi tertinggi, dengan catatan kalau kedua belah pihak sama-sama berkesadaran," lanjut Jaka. 

"Di mana keduanya betul-betul sadar penuh, hadir utuh," Rara menyambung. "Di sini, kini."

Jaka tersenyum dan mengangguk. "Yang laki-laki tidak memikirkan kerjaan, yang perempuan tidak memikirkan masakan," ia memberi contoh. "Hanya ada dua jiwa yang saling luruh dan lebur di kekosongan, dalam dua tubuh yang saling menggapai dan mereguk kenikmatan..." 

"Oh," Rara mengangguk dalam pemahaman --dan "oh moment" itu sejatinya adalah semacam orgasme. 

Jaka diam, menikmati pemandangan yang ada di hadapannya: sang istri dengan pencerahan barunya.

"Itu makanya dikatakan have sex adalah surga dunia, ya? Masa di surga, di dalam keadaan paling intim di antara dua insan, dilakukan sambil tidak sadar?" Rara kembali bicara. "Apalah artinya hidup tanpa seks yang berkesadaran? Dan biasanya orang-orang memaknainya hanya sebagai ajang bertemunya dua organ. Tanpa kehadiran utuh, kesadaran penuh, hanya memuaskan basic instinct saja."

Kali ini, giliran Jaka yang terpana akan penjelasan istrinya. Sesuatu bergejolak di dalam tubuhnya, sebuah energi yang sangat bisa membawanya pada...

"Tapi, alangkah jahatnya aku, kalau hanya melihatmu dulu sebagai objek seks," lanjutnya. "Berbincang, berbagi denganmu saat pacaran dulu sudah membangkitkan gairah tersendiri, dan itu adalah keintiman yang terjalin tanpa harus naik ranjang."

Rara tersenyum lalu memeluk suaminya. Serta merta, sang suami membalas pelukannya sambil memandangi Rara. 

"Lihatlah betapa bersinarnya dirimu..." ia berkata. "Aku hanya akan menutupi sinarmu dengan ego kelaki-lakianku, jika hanya memandangmu sebagai yoni penampung lingga..."

"Bukannya memang begitu?" Rara tertawa. 

"Iya," jawab Jaka. "Dan makanya dikatakan bahwa laki-laki itu tugasnya memfasilitasi juga karena terkait ini..."

Karena Rara diam saja, jadi ia meneruskan,

"Tugasku menjaga 'pertahanku' agar tidak rubuh," katanya. "Setidaknya, lingga harus 'tegak' selama tujuh menit saat digempur yoni. Sekarang mengerti kan, mengapa Shakti dikatakan sebagai energi aktif yang memanifestasi melalui perwujudan dan kreativitas wanita? Jadi begitulah tugas pria, membiarkan wanitanya bergerak bebas, aktif dan kreatif. Kamu suka berada di atas, kan?"

Ditanya begitu, Rara jadi tertawa-tawa sendiri menutupi tersipunya.  

"Ya ngga apa-apa, karena wanita memang lebih paham di mana titik G-spot-nya berada," Jaka meneruskan. "Tidak semua pria tau letaknya, dan dalam pencariannya menuju ke sana, bisa jadi ia kalah duluan dalam 'pertempuran'. Lalu sang wanita tidak mencapai kenikmatan tertinggi, dan sang pria jadi terlihat egoisnya."

Rara tertawa tambah keras tanpa bisa berkata-kata.

"Maka tuntunlah kami," Jaka ikut tertawa.

"Ke jalan yang benar?" Rara masih tertawa. Betapa menyenangkannya pembicaraan mereka kali ini.

"Ke jalan yang lurus," Jaka tergelak dan setelah beberapa saat, ia berkata, "Menuju kenikmatan tertinggimu, agar bagimu aku bukanlah laki-laki yang diuntungkan oleh sistem norma yang patriarkis semata --bahwa suami harus dilayani istrinya saja. Ya harus sama-sama melayani, saling menuntun menuju puncak tertinggi."

Rara tersenyum, lalu mengecup pipi Jaka. "Aku juga dituntun yaa," rajuknya. "Biar bagaimanapun, Shakti ada setelah Siwa. Kolaborasi keduanyalah, dan bukannya persaingan, yang akan membawa pada misi agung bersama."

Lagi-lagi, Jaka dibuat terpana. Seketika, darah mengalir lebih banyak ke bagian tertentu saja. Kepalanya seakan tidak terisi cukup oksigen, karena semua berfokus pada sebuah organ di bawah sana. 

"Ra..." katanya dengan suara berat dan serak. "Dilanjut ke ranjang, yuk..."


********

*hatur nuhun Kang E dan Bang A atas inspirasinya...

Baca lagi kisah yang lainnya di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

3 komentar: