[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pasrah

Jumat, 28 Juni 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pasrah


Siang ini terasa sangat panas dan lembab. Musim pancaroba yang peralihan ini sedang menemani Rara mengerjakan tugas kantor yang njelimet, hingga isi kepalanya seperti mau meleleh. Lelah dan panas. Apalagi, tugasnya itu sudah mepet deadline, membuat semuanya jadi semakin menyengsarakan.

"Aku pasrah aja deh, mau hasilnya gimana juga," Rara mencurahkan isi hatinya pada Jaka.

Sang suami itu masih di luar kota dan sedang sibuk juga, tapi ia tetap menyediakan diri untuk mendengarkan cerita Rara. 

"Katanya kepengin tugasnya bagus, biar jadi role model buat cabang lain..." suara Jaka terdengar seusai mengembuskan asap rokok.

"Iya siiiih..." Rara melenguh panjang. "Tapi kemarin udah dilihat sama pak Bos, dan katanya butuh diperbaiki sedikit, padahal aku udah buat sebaik mungkin. Aku capeeek..."

Jaka terdengar mengisap lagi rokoknya, dan sebelum ia menanggapi apa-apa, Rara sudah nyerocos lagi dengan keluhan-keluhannya.

"... gitu. Jadi pokoknya aku pasrah aja, bagus apa ngganya gimana nanti ajalah!"

Di ujung sana, Jaka tersenyum. Diembuskannya asap terakhir sebelum rokoknya dimatikan.

"Pasrah itu apa, sih?" tanyanya lembut.

"Ya berserah aja soal hasilnya," jawab Rara setengah ketus. Ia memang sedang kesal. 

"Pasrah itu ada dua," Jaka menjelaskan perlahan. "Di depan dan di belakang."

"Duh, soal apa lagi itu?" tanya Rara lemas. Ia tau benar bahwa perkataan suaminya bakal mengandung pelajaran.

"Kalau pasrahnya di depan, maka setiap apa yang diusahakan akan dijalankan dengan perasaan enteng," jawab Jaka. "Ringan tanpa beban, karena sadar bahwa jatahnya hanyalah berusaha. Tulus berserah, karena hasil baginya bukan jadi urusan, tidak berada pada wilayah kekuasannya."

Rara diam saja, mencerna.

"Sedang kalau pasrahnya di belakang..." Jaka memperlambat omongan. "Itu karena sudah mendapatkan hasil dan hasilnya itu tidak sesuai harapan. Kalau sudah begitu, ya mau gimana lagi kecuali pasrah."

Di ujung sini, Rara tercekat. Segera ia memejamkan mata dan mengambil napas dalam-dalam. Diamatinya ke mana udara itu mengalir di dalam tubuhnya --ke mana berhentinya untuk kemudian dikeluarkan. Setelah itu, senyum mengembang di bibirnya, menandakan sebuah kepahaman baru yang menjadikannya sadar.

"Ya sudah kalau gitu berarti aku pasrahnya di belakang," akunya dengan legawa. "Iya, aku tidak pasrah di depan, dengan menetapkan sebuah target keberhasilan. Padahal hasil bukanlah jatahku untuk menentukan, jatahku ada pada ikhtiarnya."

Jaka mengangguk senang mendengarnya. Ia lalu membuka pemantik apinya yang berdenting, dan mulai menyulut sebatang rokok lagi dengan anteng, hingga terdengar suara dari seberang...

"Barusan ngerokok udah ngerokok lagi!" Rara memarahi suaminya. "Sehari bisa berapa bungkus itu? Blablabla..."

"Duh... galak bener dah..." Jaka nyengir sambil memasukkan kembali rokoknya. Tapi bicaranya pelan saja, takut ketauan dan malah memperpanjang omelan...

********

Baca lagi kisah mereka di Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar