[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Cinta

Jumat, 31 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Cinta


Hari ini disepakati sebagai hari cuti bersama. Seluruh masyarakat Indonesia bergembira ria mendapatkan tambahan liburan, tapi tidak demikian halnya dengan Jaka. Karena panggilan tugas mendadak, ia terpaksa harus berangkat siang ini ke luar pulau. Dan Rara sedih sekali karenanya.

"Tidak bisakah ditunda sampai setelah lebaran?" tanyanya dengan wajah memelas. Gelengan kepala Jaka membuatnya tambah melas.

"Mereka sedang membutuhkanku, Ra," Jaka memintakan maklum. "Kalau tidak sedang darurat begini, aku kan bisa saja menolak."

"But I also need you..." Rara hampir menangis. Mudik mereka memang hanya jalur darat, dan waktunya bisa fleksibel, tapi hari libur raya tanpa Jaka akan sangat berbeda.

"Not as much as they do..." dengan senyum penuh permohonan, Jaka menatap istrinya. Ia juga ingin menghabiskan liburan bersama Rara, tapi tugas ini harus dilakukannya.

"Do you love me?" tanya Rara lagi, dengan pertanyaan jitu yang biasa dilakukan para wanita jika sedang terdesak. "Kamu sayang ngga sama aku?"

Segera, Jaka mengetahui bahwa pertanyaan itu tidak memiliki jawaban yang memuaskan. Setiap kata bisa dijadikan bahan untuk melawan. Jadi ia menggandeng Rara, mengajaknya duduk di tepi ranjang, lalu mencium tangan istrinya itu.

"Apa sih, cinta itu?" tanyanya dengan gaya khas; tenang penuh kewibawaan, ajeg-eling atas dirinya. 

Segera juga, Rara tau bahwa ia kalah. Apapun yang akan keluar dari mulut suaminya, adalah kebenaran yang tidak terpatahkan. Jadi ia menggeleng saja dengan pasrah.

"Cintakah namanya, jika ada kekesalan saat melihat laku pasangannya?" Jaka memulai wedharnya. "Cintakah sebutannya, kalau sakit hati atas perkataan orang-orang terkasihnya?"

Rara menggeleng lagi. Bukan pasrah, tapi karena ia bingung dengan jawabannya. "Cintakah itu?" batinnya ikut bertanya.

"Apakah itu cinta, jika mengkhawatirkan orang-orang terkasihnya?" Jaka bertanya lagi. "Apakah itu cinta, kalau mencemburui pasangannya?"

Lagi-lagi, Rara menggeleng saja. Tapi kali ini, dia mulai mengerti arah pembicaraan suaminya.

"Atau itu namanya emosi belaka?" Jaka melanjutkan dengan tersenyum. "Emosi dalam berbagai wujud, seperti, marah, takut, kecewa akibat dari ketidak-terimaannya, pengharapannya, ketergantungannya?"

Serta-merta, Rara menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Seperti biasa, terjadilah hal itu --hal bahwa apa yang dikatakan suaminya adalah kebenaran yang tak terpatahkan.

Jaka tersenyum lagi. Ia tau kalau istrinya sudah mengerti.

"Cinta adalah kesadaran, Ra," katanya melanjutkan. "Kesadaran bahwa setiap makhluk adalah pengejawantahanNya. Jika menyadari bahwa pasangan, atau orang-orang yang dikasihi, adalah sebentuk gatraNya yang membawa sifat-sifatNya, maka tidak ada yang lain yang dapat dilakukan kecuali jatuh cinta setulus-tulusnya."

Kali ini Rara mengangguk. Kepahaman baru mendatanginya.

"Aku jatuh cinta padamu bukan untuk memilikimu, sayang," Jaka membelai rambut Rara. "Aku melihatNya memercik di dalam dirimu. IA yang indah, cantik, menawan. IA yang pandai, terutama dalam merangkai kata, sekaligus lugu dan menyenangkan. IA yang pengasih dan penyayang..."

Rara merasakan matanya menghangat, sebentar lagi pasti ia menangis.

"Tapi pengejawantahanNya itu bukan untukku seorang," Jaka mengecup kepala istrinya. "Betapa jahatnya aku, mengambil semua kebaikan itu dari orang-orang lain yang membutuhkanmu."

Dan Rara benar-benar menangis sekarang. Air mata merembes di sela-sela bulu matanya, dan dibiarkannya meleleh di pipinya. 

Jaka menghapus air mata itu dan melanjutkan, "PercikanNya di dalammu harus menerangi yang lainnya juga, bukan untuk dikurung dalam rumah hanya untuk melayaniku hanya karena kamu istriku. Aku tidak akan membatasi cahayamu dengan alasan akulah suamimu, atau karena katanya itu cinta. Karena itu sama sekali bukan cinta."

"Itu adalah emosi yang dibalut nama sang cinta," Rara meneruskan kalimat suaminya. "And people who do that, they give love a bad name. Mereka yang berlaku begitu sungguh menodai arti cinta."

Jaka mengangguk. Lega sekali ia mengetahui bahwa Rara telah paham sepenuhnya tentang sejatinya cinta.

"Jadi bersinarlah, wahai kekasihku," Jaka memeluk Rara. "Di kehidupan ini, kamu mengambil peran sebagai istriku. Tapi tetap, kamu adalah perwujudanNya, sifatNya, di dunia. Terangi bumi dengan apa yang menjadi jatah wujud dan sifatmu. Jalani misi hidupmu dengan bekal itu, aku ngga akan menutupi kilaumu. Aku hanya akan berada di sini, mendukung dan mengagumimu."

Dan Rarapun kembali meneruskan tangisnya yang semakin tak terbendung, sambil dalam hati berjanji untuk melakukan hal yang sama. Ia akan ada di sini, sebagai pendukung dan pengagum keindahan sang Maha yang ada pada Jaka, tanpa menghalangi apapun itu yang menjadi tugas suaminya di dunia. Jatuh cinta yang tulus saja, tanpa pamrih. 

********
“Love is misunderstood to be an emotion; actually, it is a state of awareness, a way of being in the world, a way of seeing oneself and others.” ~ D R Hawkins

Cinta (sering) disalahartikan sebagai emosi; sejatinya, ia adalah bentuk kesadaran, sebuah jalan untuk (hanya) berada di dunia, suatu cara untuk memandang sesama, satu terhadap yang lainnya. Saat tidak berada pada jalan itu, saat tidak diaplikasinya cara itu dalam hidup, saat itu pula cinta hilang dari hati.

*inspired by a writing by Gobind V. Thank you for shining up the world <3

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka 

7 komentar:

  1. Rara, yang sabar ya, doakan Jaka selamat dan lancar dalam tugasnya. Jaka, melalui penjelasanmu, aku pun belajar tentang makna cinta.makasih ya dan selamat bertugas :)

    BalasHapus
  2. Teh, ini kira-kira kapan ya Jaka & Rara punya anak? Ku penasaran deh, pasti Rara lebih drama lagi 😂

    BalasHapus
  3. Dapat pelajaran lagi kalau mampir ke Jaka Rara, kali ini ttg cinta

    BalasHapus
  4. bahkan sering cinta tak harus memiliki.
    Pengejawantahannya ngga hanya antara pria dan perempuan
    Juga ibu untuk anak anaknya

    BalasHapus
  5. Jadi penasaran kisah keluarga besar Jaka dan Rara.
    Apakah kedua orangtua Jaka juga wise begini...?

    BalasHapus
  6. Cinta tak hrs memiliki mdh terucap tp kadang pahit utk.dirasa hahaha..katanya seh..

    BalasHapus
  7. Duh kalau ngomongin cinta memang bikin baper ya, teh. Hihihi.

    BalasHapus