[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Himalaya dan Pandawa Lima

Jumat, 01 Maret 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Himalaya dan Pandawa Lima


Malam Jumat ini, Jaka mengajak Rara makan malam di luar. Ia menjemput istrinya yang selesai mengajar, dan mencari tempat makan yang di dekat sana saja, di jalan Martadinata, salah satu jalan arteri di Bandung. Jalan yang banyak terdapat Factory Outlet dan resto-cafe kebanggan Kota Kembang. Jaka memilih satu yang atmosfirnya tenang, dengan iringan live music yang mendendangkan lagu-lagu lawas tahun '90an.

"Yang meja sebelah sana itu..." Rara melirik-lirik, "Ceweknya sendirian tapi cowoknya banyak."

"Hahaha," Jaka tertawa. Tidak ada keinginan sama sekali baginya untuk tau, tapi tak urung, agar Rara senang, diliriknya juga meja itu.

"Ya biar ajalah, mungkin sahabatan," Jaka membuka buku menu, lalu disodorkannya pada Rara demi menghentikannya bergosip.

Berhasil. Rara langsung membolak-balik halamannya dan memilihkan makanan untuknya sendiri dan Jaka. Suaminya itu memang orangnya pasrahan. Untuk urusan makanan, pakaian, dan beberapa pengaturan diserahkannya pada Rara. Sebagian karena malas memilih sendiri, karena menghindari perselisihan, juga karena selera Rara cocok untuknya.

"Jadi ingat Drupadi dan Pandawa Lima," Rara menyambung obrolan tentang meja sebelah, setelah menyerahkan buku menu kembali ke mbak pelayannya.

"Ingat jugakah, tentang bagaimana mereka meninggal?" tanya Jaka sambil menyulut sebatang rokok.

Rara menggeleng. Ia hanya ingat tentang pertempuran Bharata Yudhanya saja.

"Segera setelah perang selesai, pihak pemenang menduduki kerajaan Hastinapura," Jaka menyela dengan sebuah isapan rokok yang nikmat. "Cucunya Arjuna, anaknya Abimanyu yang bernama Parikesit, dilantik menjadi Raja."

Si mbak pelayan datang lagi membawakan dua gelas lemon tea hangat. Rara menyeruput minumannya tanpa sedotan. Ia sudah mengurangi pemakaian plastik.

"Lalu para putra Pandu itu pergi, konon katanya mendaki Gunung Himalaya sebagai gunung tertinggi di bumi, sebagai simbol untuk berjalan ke langit, menuju surga," Jaka mengisap rokoknya lagi. "Nah, siapa kira-kira yang berhasil sampai surga?"

Rara menggeleng lagi. Lemon tea-nya digenggam untuk membuat tangannya hangat. 

"Hanya sampai separuh jalan, Drupadi sudah tidak kuat melanjutkan," Jaka menjawab pertanyaannya sendiri. "Dikabarkan, ia memiliki kesalahan besar yang membuatnya tidak mampu sampai ke atas."

"Apa itu?" tanya Rara.

"Drupadi berlaku pilih kasih," Jaka menyeruput minumannya. "Ia mencintai Arjuna lebih dari suami-suami lainnya."

Seketika, wajah Rara jadi tegang. "Loh, kan awalnya dia memang jatuh cintanya pada Arjuna. Salahnya siapa kalau dia tiba-tiba harus jadi istrinya lima orang?"

Jaka tersenyum saja mendengarnya, tanpa ingin menjawab.

"Setelah Drupadi meninggal, yang segera menyusul adalah Sadewa," ia meneruskan ceritanya. "Katanya, "dosa" saudara termuda itu adalah merasa paling pintar karena ilmunya."

Rara mengangguk-angguk setuju. Menurut kisahnya, Sadewa dikarunia kemampuan untuk melihat masa depan.

"Lalu Nakula, karena kesalahannya yang merasa sempurna wajahnya," lanjut Jaka.

"Bukannya yang paling ganteng itu Arjuna?" Rara bertanya.

"Arjuna lebih menempatkan hatinya tinggi-tinggi pada kemampuan perangnya," jawab Jaka. "Ia sesumbar bahwa Bharata Yudha akan selesai hanya dalam sehari saja, berkat dirinya. Tapi perang besar itu kan terjadi selama tujuh belas hari dan kemenangannya berdasar kerjasama semua pihak. Matilah ia karena kesombongan itu."

Rara mengangguk lagi. "Lalu Bima kah, yang meninggal selanjut?"

"Ya, dan kesalahannya adalah mementingkan nafsu ragawinya, terutama soal makan," Jaka mengisap rokoknya terakhir kali sebelum dimatikan. "Kerakusan adalah salah satu dosa besar manusia."

Mbak pelayannya datang lagi. Membawakan Nasi Bebek ala Bali untuk Jaka, dan semangkuk Laksa untuk Rara. 

"Yang terakhir Yudhistira?" Rara menyiapkan sendok-garpu untuk suaminya.

"Yudhistira dikisahkan sebagai satu-satunya yang mencapai puncak Himalaya," kata Jaka. Ia sudah lapar, jadi memilih untuk menyantap hidangan depan matanya itu.

"Loh, Yudhistira kan yang membuat semuanya kacau-balau, gara-gara kegemarannya berjudi?" Rara protes lagi.

Tapi Jaka sedang asyik makan, dan Rara tidak ingin mengganggu suaminya. Diikutinya Jaka dengan menyantap Laksanya yang hangat dan gurih, sambil merenungi dosa lima perkara yang dilakukan oleh Drupadi dan empat suaminya.

Hanya sedikit saja kesalahan, dengan secuil kemelekatan, lima tokoh hebat tersebut gagal kembali menyatu dengan Sang Illahi. Dosa yang membuat jiwanya tidak murni, yang kemudian harus ditebusnya lagi dengan kembali turun ke bumi. Untuk belajar dan menjalani laku yang membersihkan jiwa, demi keabadian yang tak hingga.

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

9 komentar:

  1. Konon, Pandawa Lima ini juga jadi simbol berbagai rasa (makanan) yang ada di dunia ini.

    BalasHapus
  2. Ah.. kujadi pengen baca kisah nya nih

    BalasHapus
  3. Hmmm kemarin lewat jalan Riau berasa jadi Rara hehheu

    BalasHapus
  4. Ingat Drupadi ingat ponakannya kakakku namanya Drupadi xixixi krn emang ibu bapaknya suka kisahnya makanya dikasih nama Drupadi panggilannya Dru

    BalasHapus
  5. Udah lama gak baca cerita Jaka Rara ini

    BalasHapus
  6. Drupadi itu nama perempuan?
    Ya Allah~
    Aku gak pernah baca kisah Pandhawa Lima. Padahal kalau diikuti, falsafah hidupnya keren banget.

    BalasHapus
  7. Rakus. Berasa disebut, Teh. Heuheu...

    BalasHapus
  8. Kok ngeri ya Drupadi ini, suaminya ada 5.
    --"

    BalasHapus
  9. Drupadi yang luar biasa. Saya kagum sekaligus kecewa kepadanya. Bharatayuda terjadi karena dendam mahadahsyat yang dialaminya. Saya pun sangat kecewa pada Yudhistira. Ia selemah2nya pria.

    BalasHapus