[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Galau

Jumat, 15 Maret 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Galau


Kamis malam ini, Rara uring-uringan lagi. Entah apa masalahnya, tapi terlihat kesal di depan tivi. Tidak ingin diajak ngobrol, apalagi diminta cerita. Sadar dengan keriuhan pikiran istrinya, Jaka memeluknya sebentar lalu melipir ke kamar. Lebih baik ia meninggalkan Rara sendirian dulu...

"Aku lagi bingung," Rara menyusul suaminya yang sudah tidur-tiduran.

Jaka tersenyum. Rara memang tidak betah berlama-lama tidak bicara. "Kenapa..?" tanyanya lembut.

Lalu, seperti yang sudah bisa ditebak, kalimat demi kalimat meluncur dari mulut Rara. Meluapkan isi hati, mengungkapkan kegalauan, meringankan beban pikiran.

"Terus..." Jaka bertanya lagi.

"Udah," jawab Rara singkat. Tapi sedetik kemudian ia sadar, bukan "terus" untuk melanjutkan cerita yang ditanya Jaka. 

"Iya aku tau," sambungnya pasrah. "Terus kenapa, gitu kan?"

"Iyaa..." Jaka tersenyum lagi. "Kalau saja manusia bisa mengingat, bahwa ia sudah menempuh banyak sekali kehidupan dunia, tentu tidak akan terkejut ataupun gundah gulana lagi."

"Ya tapi kan ngga bisa ingat..." Rara merengut.

"Ya itulah tantangannya," Jaka berkata dengan sabar. "Tantangan untuk terhubung kembali dengan Sang Maha Sumber, sambil menjalani perannya dengan sepenuh hati."

Rara mengangguk saja.

"Kita sudah pernah terlahir di sini dan sana, punya lakon sebagai ini dan itu, menjadi seseorang dengan ras yang beragama anu dan inu, dengan tingkat kesadaran segini dan segitu," jelas Jaka. "Kehadiran kembali ini tak lain hanya untuk mengalami dan menjadi saksi lagi atas keberagaman bentuk dan rupaNya. Bisakah menerima semua dan berusaha melampaui dualitas yang terus menghampiri?"

Kali ini Rara menggeleng.

"Masuk kembali pada keheningan, sampai menemukan sendiri kedamaian itu," Jaka membelai rambut Rara. "Damai yang dalam, hingga tak tersentuh suka dan duka, baik dan buruk, pahit dan manis, sampai gunung pun tak lagi terlihat sebagai gunung, kecuali satu dari aneka gatra."

Rara terdiam, berusaha mengingat-ingat. Ia pernah mengalami masa-masa itu. Ketika ia tidak lagi ingin memeluk pohon karena sebuah rindu yang entah disebabkan oleh apa, hanya ketentraman karena merasa tiada beda melainkan satu dengannya. Ah, ya, sungguh saat yang damai...

Senyum Rara menjadi pertanda bagi Jaka, bahwa istrinya sudah kembali pada kesadarannya. 

"Memang pasti ada hal-hal yang bertentangan, Ra," katanya. "Tapi tugas kita bukanlah untuk menghilangkannya. Usahakan untuk tetap eling lan waspada saja, agar semua bukan terasa menyiksa, tapi menyapa."

Rara masih tersenyum-senyum sendiri saat Jaka menyelesaikan penjelasannya,

"Jadi bisa ya, menerima saja semua sebagai bagian dari kehidupan?" katanya. "Tinggal amat-amati, sadar-sadari mana yang sekiranya tidak menyamankan untuk dibawa hening dan diberi senyuman, hatimu akan memberitahu."

Kemudian, perasaan itu muncul lagi di hati Rara. Nyaman, karena tetiba semua terlihat begitu apa adanya melalui kejernihan bathinnya. Damai, karena ia menyadari raganya maujud untuk membantunya mengalami, sebagai kendaraan jiwanya untuk bersaksi. 

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Thank you mas Martin, pak Frank dan kang Eris for the insights. Rahayu <3 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar