[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka, Tentang Naluri

Jumat, 08 Februari 2019

Fiksi Rara & Jaka, Tentang Naluri


Siang ini hujan lagi. Padahal Jaka sedang mengajak Rara untuk makan siang di daerah atas, untuk menikmati panorama Bandung yang indah, berbukit dan berlembah. Tempat makannya memiliki area taman yang luas. Rumput menghijau, mengalasi pepohonan yang besar-besar, entah sudah berapa puluh tahun umurnya. Rara ingin sekali berlari menembus hujan, untuk memeluk pohon dan tiduran di karpet rumputnya.

"Kamu bukannya baru sembuh..? Jaka mengingatkan. 

"Iya siy.." jawab Rara separuh melamun. "Tapi hujannya bikin pengin basah-basahan..." rengeknya.

Jaka menghela napas, mencoba benar-benar terjaga karena kalau istrinya sudah begitu, biasanya ia luluh dikuasai perasaan.

"Nanti ya, makan dulu," katanya sambil berharap nanti Rara lupa akan keinginannya.

"Ngga terlalu deras," gumam Rara lagi. "Rintiknya pas untuk bermain hujan. Kalo kena ke kulit itu, duuh, dingiin."

Jaka menggandeng Rara memasuki ruangan.

"Kan katanya kalo mandi shower itu bisa membuat kulit sehat. Butiran airnya tidak cuma membasahi tapi pijat refleksi," Rara merayu suaminya lagi. "Kan kita selalu bawa baju di mobil, jadi nanti langsung ganti."

Jaka lalu menggeserkan kursi untuk Rara duduk, lalu diam memilih makanan. Tumben, biasanya ia membiarkan sang istri memilihkan, tapi rasanya Rara masih tergiur melayani permintaan badaniahnya.

"Belum lagi, katanya air hujan itu blablabla..." sambung Rara masih sambil melihat ke luar. "Ayo dooong, kayaknya asiiik!"

Baru setelah mbak pramusajinya meminta untuk menunggu sekitar 15 menit sebelum pesanannya datang, Jaka menanggapi. 

"Kesadaran pada level fisik akan mengembangkan naluri dan mematikan nurani," katanya. "Ingatan bahwa yang ada hanyalah tubuh yang perlu disenangkan, dimanjakan. Lupa, bahwa jasad kelak akan luruh di tanah."

Rara terdiam. Kalau suaminya sudah serius begitu, dia hanya berani menunduk.

"Oleh sebab itu ada banyak sekali peraturan yang membolehkan dan melarang," lanjut Jaka. "Orang-orang yang kesadarannya hanya di level fisik memang perlu aturan untuk menjaga moralnya. Perlu ditakut-takuti sekaligus diiming-imingi."

Mbak pramusaji datang membawakan minuman. Jaka menyisip lemon tea hangatnya sebelum meneruskan.

"Suatu saat, aturan itu kemudian terasa membelenggu. Naluri kerap mengajak melakukan hal-hal yang di luar aturan. Lalu bingunglah," Jaka mengaduk-aduk minumannya. "Timbul pertentangan bathin, mengikuti naluri atau taat aturan. Kira-kira gimana?"

Rara melihat suaminya sekilas, menggeleng, lalu menunduk lagi. 

"Ya galau," Jaka tertawa sendiri. "Makanya ada ajakan untuk hening, untuk menghidupkan nurani. Hanya pada hening, jawaban sejati akan datang."

Kali ini Rara mengangguk, lalu merapatkan tubuhnya pada Jaka. Dingin.

"Aku ngga akan melarang-larang, yaa," Jaka memeluk istrinya. "Kamu mau berhujan-hujan boleh, ngga juga ngga apa-apa. Ngga ada yang salah ataupun benar, semua sesuai adanya, dan membawa pada konsekuensinya masing-masing. Tapi kalo sempat, tanya dulu pada hatimu, baiknya gimana."

Rara mengangguk lagi. Tersenyum, ia memandang Jaka, lalu mengecup pipinya. "Iya... aku memang suka kebawa emosi kalo mau ngapa-ngapain."

Mbak pramusajinya sudah datang lagi, lalu membiarkan dua tamunya menikmati makanan sambil beromantis ria ditemani derai hujan yang tak kunjung henti. Syahdu, dan gerimisnya mengundang...

Jaka menyalakan rokoknya dan memandang hujan seusai makan. "Kayaknya emang asyik, Ra..." gumamnya seraya mengembuskan asap. "Habis ini kita hujan-hujanan yuk, terus ganti baju yang lama di mobil..." suara Jaka berubah menjadi berat dan serak, dipenuhi hasrat.

Rara ternganga mendengarnya, "Eh gimana siy..." jawabnya sambil terbahak. 

Naluri oh naluri...

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar