[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Kedalaman

Rabu, 06 Februari 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Kedalaman


Sore itu berudara lembab. Hujan baru saja turun membasahi bumi, dan wangi tanah juga rerumputan masih menguar dengan segarnya. Jaka mengajak Rara duduk-duduk di depan, sambil membantu lagi kesembuhan kaki istrinya yang ketumpahan air panas itu dengan Reiki. 

"Kok ada saja, ya, yang tega membicarakan di belakang, padahal berhubungan dekat?" tanya Rara sambil meletakkan ponselnya. Hatinya jadi ikut gundah, tapi segera dikembalikannya kesadaran agar tidak larut dalam emosi.

"Membicarakan di belakang gimana?" Jaka memulai sesi terapinya dengan meletakkan kaki Rara di pangkuannya. Lalu, ditaruhnya kedua tangan dengan jarak yang cukup, dan mulai menjadi perantara energi alam yang berlimpah untuk mengobati.

Rara kemudian bercerita, tentang seorang teman yang bercerita, lalu membandingkan, kemudian mendiskreditkan...

"Kamu juga suka gitu, ngga?" Jaka bertanya.

"Ngg... iya sih," Rara mengakui. "Tapi biasanya dalam rangka bercanda aja, ngga pernah benar-benar menjatuhkan, apalagi kalau orangnya dekat. Entah ding..."

"Ya sudah, kalau sudah bisa paham sampai ke situ," Jaka menanggapi. "Artinya kamu sadar bahwa ada saja yang masih terkondisikan. Masih membandingkan. Masih dualitas. Ya wajar, namanya manusia."

"Ya..." Rara menyahut lirih. Ia diam sesaat, memangil-manggil memori di mana ia betul-betul sampai hati bicara tentang keburukan orang yang dianggapnya dekat. Tapi memorinya tidak menjawab. Entah karena ia memang tidak pernah begitu, atau momen itu begitu terpendam.

"Kedalaman seseorang bisa terukur dari caranya bicara, Ra," Jaka meneruskan. "Atau kalau ia suka menulis, maka isi tulisannya merepresentasi dirinya. Auranya tidak bisa menipu."

Rara masih diam.

"Akan terlihat, mana yang masih di permukaan, di kedalaman sedang, atau sudah jauh masuk ke bawah, dan menyatu," lanjut Jaka. "Kalau di spiritual, maka akan ketahuan mana yang betul-betul sudah mengalami suwung, atau sebatas pengetahuan di tubuh nalar."

"Iya..." Rara menjawab dengan lirih lagi. "Mana yang betul-betul mengalami suwung, mana yang sebatas paham tapi belum menyatu..." ia mengulangi dalam hati.

"Ada semacam lapisan energi yang menyelimuti perkataannya, atau tulisannya, dan jika pembacanya peka, ya bisa terasa." Jaka menyudahi terapinya. "Kayak Gurumu itu, kalau mendengarkan omongannya, membaca tulisannya, atau berada dekat dengannya, bagaimana rasanya?"

Rara meletakkan kembali kedua kakinya ke bawah, lalu menjawab dengan semringah, "Semangat," katanya. "Dan nyaman."

Jaka tertawa. "Ya sudah, kalau nyaman tanpa ada penolakan, ya artinya selaras, bukan?" katanya sambil meraih tubuh istrinya agar mendekat.

"Hu um," jawab Rara sambil menyandarkan kepala ke bahu sang suami. "Kayak sama kamu ini, nyaman..." lanjutnya sambil tersenyum manja.

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar