[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Kilasan, A Glimpse

Minggu, 13 Januari 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Kilasan, A Glimpse


Minggu pagi ini cerah. Burung-burung berceloteh riang, seakan ingin membangunkan semua orang dari lelapnya tidur. Sinar matahari ada bersama burung-burung itu, namun bedanya, ia masih malu-malu. Masih hangat, jatuh ke ranjang dan lembut mengenai wajah Rara.

Rara bangkit untuk membuka daun jendela. Membiarkan masuk wewangian alam yang diguyur hujan semalaman menguar di kamar. Sambil menggeliat melemaskan otot-otot, Rara mengingat-ingat mimpinya tadi malam. Sudah beberapa lama ini ia tidak pernah bermimpi, jadi yang semalam itu pastilah spesial.

Saat itu dini hari, kalau tidak salah. Dilihatnya matahari yang tertutup kabut, dengan segerombolan burung melintas di udara, berangkat mencari nafkah. Rara di atas bukit, bersanggul cepol, memakai kemben dan jarik. Tidak ada sesiapapun di sana, seingatnya, jadi ia menari saja sebebasnya.

Sebuah tarian kosmis yang indah. Ia menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan -tanpa aba-aba tanpa ketukan. Seakan ingin mengakses kembali rasanya, Rara memejamkan matanya dan tersenyum. Momen itu begitu syahdu. Tidak ada kekhawatiran, tidak ada ketakutan... semua mengalir seirama bersama senandung alam. Tidak ada hidup untuk masa lalu atau masa depan, hanya masa kini.

Nada dering telepon genggam menarik Rara dari lamunan. Dilihatnya wajah Jaka di layar. Suaminya itu akan pulang hari ini dari luar kota, jadi mungkin ia mau mengabarkan kalau sudah ada di bandara. 

"Pagi..." suara itu terdengar mendamba.

"Pagi..." balas Rara. "Sudah di bandara?" tanyanya.

"Baru beres check in," yang ditanya menjawab. "Lagi cari smoking area."

Rara tertawa. Jaka sudah tidak bisa lagi diminta berhenti merokok. "Sekali-sekali merokok ngga apa-apa kata Osho" begitu alasannya pada Rara dulu. Jadi ya sudah, ia menyerah.

"Kamu lagi apa, sih?" Jaka bertanya sambil menyulut rokok. Zippo-nya berdenting nyaring, disusul bunyi keretek tembakau yang terbakar karena diisap -isapan pertama yang selalu nikmat.

"Lagi bengong..." jawab Rara sambil tidur-tiduran lagi di ranjang.

"I had a glimpse this morning..." Jaka berkata dengan parau.

"What about?" tanya Rara biasa saja. Sang kekasih hati itu sudah sangat sering mendapatkan kilasan, glimpse, tentang banyak orang atau kejadian.

"About us..." suara yang mendamba lagi.

"Oooh!" Rara berseru. Jantungnya jadi berdebar lebih kencang. Ia selalu suka mendengarkan cerita Jaka tentang penglihatan-penglihatannya. Jadi kalau ini tentang mereka, tentu sangat menyenangkan.

"Aku lihat kamu menari..." Jaka meneruskan ceritanya -masih dengan nada yang sama, mendamba. 

Jantung Rara seakan meleset satu detakan. Nyess...

"Di atas bukit..." kalimat itu dikatakan berdua, bersamaan.

"Iya, kok tau?" tanya Jaka. 

Serta merta, Rara menceritakan mimpinya semalam. Bagaimana ia berdiri di sana sendiri, dengan khusyuknya berdansa dengan semesta.

"Ngga sendiri..." kali ini suara Jaka dibarengi embusan asap. 

"Ha?" Rara bingung. Seingatnya ia sendirian...

"Ada aku di sana, kok," Jaka menegaskan. "Aku nontonin kamu aja... Aku kan penikmat kamu, eh..."

Rara tertawa. Ya, bisa jadi suaminya itu juga ada di sana.

"Jadi terbayangkah, sesungguhnya pencapaianmu sudah sampai mana?" sang suami itu bertanya serius. Sudah saatnya Rara tau, bahwa ia adalah jiwa yang berkesadaran tinggi.

Rara tersenyum mengangguk. "Ya," katanya.

"Nah, rajin-rajin terhubung dengan Diri, ya... Dan mengenal lebih dalam emosinya..." Jaka mengisap rokoknya sekali lagi sebelum dimatikan dalam asbak. "Buat mengembalikan seperti kesadaran yg dulu sudah utuh." 

Rara tersenyum lagi. Teringat ia, akan sketsa jiwa yang diperlihatkan seorang teman. "Dulu aku ini," katanya. Seorang perempuan abdi dalem sebuah kerajaan di tanah Jawa, yang bertugas menjadi peracik ramuan kecantikan.

"Jadi aku dulu apa?" tanyanya.

"Aku belum dapat gambaran lengkapnya," jawab Jaka jujur. "Tapi itu ngga terlalu penting. Intinya adalah kamu dulu sudah utuh adanya."

Ya, tidak terlalu penting untuk tau tentang jadi apa seseorang di kehidupan lampaunya. Pun tidak perlu percaya tentang past life regression. Yang penting dapat kembali sadar utuh dan hadir penuh, hidup di alam badaniah yang dualistis namun sadar bahwa jati dirinya adalah tunggal. Satu sebagai jiwa yang penuh kedamaian, kebahagiaan. Yang selalu menyadari nafas dan tau siapa di balik nafas itu...

"Aku boarding dulu, ya? Jaka lalu pamit dari udara diiringi banyak ciuman dari istrinya tercinta.

Setelah itu, Rara mengambil posisi duduk sila. Mencoba mengakses kembali apa yang pernah dicapainya. Mengenali lagi apa yang menjadi misi jiwanya, demi sumbangsih yang indah bagi semesta raya.

********
*as told by kakak Guru, on a wonderful morning of Friday, August 10, 2018. Namaste 🙏😇

Baca lagi kisah-kisah mereka tentang kehidupan di: Kumpulan fiksi Rara & Jaka

1 komentar: