[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka, Tentang Mengamati

Senin, 15 Oktober 2018

Fiksi Rara & Jaka, Tentang Mengamati

 

Di suatu malam yang cerah, dengan bintang-bintang bertaburan dan bulan benderang,
"Aku bingung sama orang yang katanya Guru Spiritual itu..." kata Rara sambil merapatkan jaketnya. Walaupun cerah, Bandung tetap termasuk kota dengan suhu rendah. Angin suka sekali bersemilir di cekungan yang dikelilingi pegunungan itu.
"Bingung ya pegangan, dong.. Sini," Jaka menggoda istrinya itu, dan merengkuhnya ke dalam pelukan. Mereka berdua sedang menikmati kopi di salah satu tempat duduk beratap payung besar di pinggir jalan Braga.

Rara bergeming, jari telunjuknya bergerak melingkar, menyusuri bibir cangkir kopinya yang mulai dingin. Ia memang baru diajak temannya untuk bertemu sang Guru.
"Katanya Guru, tapi aku tanya-tanya jawabannya senyum aja. Paling-paling aku disuruh merasakan sendiri, mengalami sendiri..." katanya merenung.
Jaka ikut tersenyum. Ia berpaling pada cangkirnya, lalu menyisip isinya dengan nikmat, dan tetap diam.
"Jaka? Kok diem aja siy..?"
"Ya aku harus ngomong apa..?"
"Entah... Orang itu kayak ngga punya perasaan. Diceritain sedih tersenyum, dikabarin gembira juga tersenyum," Rara kembali merenungi cangkir kopinya.
"Orang-orang yang sudah sampai pada tahap kesadaran tertentu memang cenderung hanya mengamati, Ra..." Jaka menjawab apa adanya. "Mereka tidak lagi terpanggil untuk berkomentar atau memberi penilaian, kecuali menjawab dengan kenyataan yang mereka alami sendiri."
"Kesadaran tertentu bagaimana?" tanya Rara bingung.
"Ya sadar..." jawab Jaka dengan tersenyum. "Bahwa komentar mereka mungkin akan menjadi persepsi, dan penilaian mereka bisa saja dijadikan patokan. Padahal kan kamu tau sendiri, tidak ada yang benar-benar salah maupun benar."
"O," Rara mengangguk-angguk. "Lalu bagaimana ia dijadikan Guru, kalau tidak menjawab apapun, dan hanya mengamati saja?"
"Karena dengan demikian, muridnya diharapkan untuk mengikuti teladannya. Santai saja, amati keadaan tanpa perlu dikomentari atau dihakimi. Paling-paling mereka mengarahkan untuk muridnya mendapat jawaban. Dan jawabannya akan datang menghampiri pemahaman." Jaka menjelaskna panjang lebar.
Rara mengangguk-angguk lagi. "Sesederhana itu kah, hanya mengamati tanpa menilai?"
"Yup," ganti Jaka yang mengangguk. "Bisa?" 
"Gampang atuh itu mah..." Rara menjawab dengan yakin. "Sst, sayang, lihat yang di meja sebelah itu. Cowoknya bule ganteng tapi ceweknya..."
"Amati, Ra," Jaka memotong omongan istrinya. "Amati tanpa penilaian, ya."
Serta merta, Rara mengerucutkan bibir, menahannya agar tidak lagi berkata-kata. Jaka tergelak melihatnya, menahan dirinya sendiri untuk tidak mencium bibir yang mengerucut itu.
*********
Baca Fiksi Rara & Jaka yang lain juga yaa, terima kasih :)

1 komentar:

  1. Duh, meski ga komentar ky rara, saya sih kadang msh suka menilai, dlm hati heuheu...

    BalasHapus